Skip to main content

“Sawit adalah cinta pertama, jangan sampai ditinggalkan,” Sunarto – Petani Kelapa Sawit.

Kira-kira seperti itulah pesan yang tak henti-hentinya disampaikan oleh Sunarto kepada kedua anak lelakinya, Kristiyono dan Dwiyono. Bapak dan anak ini merupakan keluarga petani kelapa sawit lintas generasi yang juga sukses mengelola bisnis keluarga berupa kolam renang agrowisata, Tirta Buana.

Menginjak usia ke-58, Sunarto telah menjadi petani kelapa sawit yang bergabung dalam program Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun 1991. Keputusannya bergabung dalam program ini membuatnya harus merantau dari Salatiga, Jawa Tengah, ke Riau.

Malang bagi kedua anak lelakinya yang masih sangat kecil pada saat itu, kondisi memaksa Sunarto untuk memisahkan kakak-beradik ini. Kristoyono, anak pertama Sunarto, terpaksa harus tinggal di kampung halaman bersama kakek-neneknya agar dapat fokus melanjutkan sekolah. Sementara Dwiyono yang belum mulai bersekolah ikut bersama ayah dan ibunya merantau ke Riau dan memulai kehidupan baru, meski harus melewati berbagai masa sulit.

Langkah awal

“Ketika pertama pindah ke sini, saya rasa itu adalah masa-masa tersulit dari seluruh perjalanan saya,” kenang Sunarto sambil tersenyum.

“Masalahnya, dulu pohon kelapa sawit di sini baru saja ditanam. Sehingga kami tidak bisa langsung mengelola lahan kelapa sawit, perlu menunggu pohonnya tumbuh dan berbuah untuk dapat dipanen,” lanjutnya.

Menurut Sunarto, jalan keluar untuk membuat kondisi menjadi lebih baik pada saat itu adalah mencari pendapatan tambahan atau menanam sayur-mayur di pekarangan rumah.

“Tapi mau menanam sayuran pun tidak mudah, karena kondisi cuaca yang sangat panas dengan matahari yang begitu terik. Akhirnya kami pun harus irit, mie instant satu bungkus bahkan dibagi untuk dimakan pagi dan sore. Seperti itu terus selama tiga tahun,” kenang pria yang lebih akrab dipanggil Narto ini.

Namun, di tengah kondisi yang sulit inilah justru Sunarto mulai memupuk semangat kewirausahaan dalam dirinya.
“Saya punya lahan pekarangan setengah hektar, saya memutuskan untuk menanam cabai. Saya kemudian memulai dengan membeli buku terkait menanam cabai karena saya sadar tidak ada yang bisa mengajarkan saya hal-hal seperti ini, saya harus belajar sendiri,” terangnya Narto.

“Tenyata saya berhasil menanam cabai, hasilnya pun malah berlebih dan dapat saya jual. Itulah bisnis sampingan yang pertama saya lakukan di tengah-tengah kebun sawit ini,” ungkapnya.

Nilai tambah melalui kreativitas

Seiring waktu, kehidupan Sunarto di Riau pun mulai membaik. Terlebih ketika pertama kalinya ia mengelola kebun kelapa sawit yang mulai panen.

“Meski kelapa sawit membuat hidup kami semakin sejahtera, saya tetap selalu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal baru, membuat kreasi-kreasi baru dari ide-ide yang terlintas di kepala saya,” ungkap Narto.

Kreativitas Narto pun kerap menginspirasi kedua anaknya, ditambah lagi keberanian sang Ayah untuk memulai bisnis dan menghadapi kegagalan serta tantangan pun selalu menjadi kekuatan bagi Kristiyono dan Dwiyono.

“Bapak itu idenya ada terus, tidak pernah putus. Ketika menghadapi kegagalan, Bapak akan mencoba lagi dan lagi, sampai ia berhasil,” ungkap Dwiyono, pria berumur 36 tahun yang merupakan putra kedua Narto.

Begitu pun ketika Narto dan keluarganya harus menghadapi replanting untuk pertama kalinya pada tahun 2018. Sunarto berhasil menelurkan ide bisnis alternatif agar keluarganya dapat melewati masa replanting dengan tenang.

“Awalnya, lahan Tirta Buana ini merupakan lahan pekarangan kami. Kedua anak saya menanam berbagai sayuran di sana, sedangkan saya lebih senang membuat gubuk untuk ngobrol-ngobrol dan ngopi bersama anggota kelompok tani,” lanjutnya.
“Tiba-tiba saja saya terpikir untuk menjadikan lahan pekarangan ini komplek kolam renang agrowisata. Awalnya tidak ada yang percaya, saya hanya diam sambil terus bekerja. Hingga ketika kolam renang pertama terbangun di tahun 2018, semua orang berdecak kagum,” ia melanjutkan.

“Banyak orang khawatir melakukan replanting karena tidak bisa membayangkan harus kehilangan pendapatan utama dari kebun kelapa sawit mereka, selama hampir 30 bulan. Untuk itulah, penting bagi petani kelapa sawit untuk selalu kreatif dan berani memulai bisnis sampingan, khususnya ketika menghadapi periode sulit seperti replanting,” terang Narto.

Kini, Tirta Buana telah berdiri menjadi komplek kolam renang agrowisata yang memiliki empat area kolam renang, area perkebunan, dan kedai makanan.

Ketika telah dewasa, Kristoyono dan Dwiyono pun kembali bertemu ketika Kris memutuskan untuk tinggal di Riau bersama Ayah, Ibu dan Adiknya. Sejak saat itu mereka berbagi tugas mengelola Tirta Buana yang kini sudah memiliki tujuh orang pegawai dan selalu dipenuhi pengunjung setiap akhir pekan.

“Pengunjung kami bahkan ada yang berasal dari Pekanbaru. Meski sangat sibuk setiap akhir pekan, kami bersyukur Tirta Buana bisa dikenal hingga ke daerah-daerah lain. Bapak selalu mengingatkan kami bahwa ini adalah buah dari kegigihan dan kejujuran dalam berusaha,” ujar sang kakak, Kristiyono.

Sebagai seorang Ayah, tidak ada yang lebih membanggakan melihat kedua anaknya dapat bahu-membahu dalam meneruskan apa yang telah ia mulai.

“Hanya satu pesan saya, yaitu untuk tidak pernah meninggalkan kelapa sawit karena sawitlah yang membuat kita dapat menjadi seperti sekarang ini. Bisnis alternatif ini hanya untuk memberikan nilai tambah bagi perekonomian keluarga, kelapa sawit tetap menjadi yang utama,” pungkas Sunarto.