Skip to main content

JAKARTA – Khairul Anam, Ketua Koperasi Tebing Tinggi Pangkatan Sejahtera (KTTPS) dari Desa Tebing Tinggi, Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sebelum ia menjadi mitra Asian Agri.

Petani swadaya yang mengelola lahan perkebunan sawit di Labuhanbatu tersebut bermitra dengan Asian Agri sejak 2018. Ia bergabung ke dalam program SMILE, (SMallholder Inclusion for Better Livelihood and Empowerment), atau Inklusi Petani untuk Kesejahteraan dan Pemberdayaan yang Lebih Baik, pada 2020.

Sebagai salah satu perusahaan yang memiliki kemitraan terbesar dengan petani kelapa sawit, Asian Agri telah banyak membantu petani swadaya seperti Anam untuk mendapatkan sertifikasi berskala global, mengajarkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan juga memberikan pelatihan terkait Best Management Practices (BMP) untuk budidaya tanaman kelapa sawit.

Keberhasilan Anam dalam mengelola kebun kelapa sawit miliknya dengan mengusung prinsip keberlanjutan membawanya ke Jepang untuk menjadi panelis di acara JaSPON x RSPO Conference di Chou City, Yaesu, Tokyo, Jepang.

Di hadapan pemangku kepentingan industri sawit di Jepang, ia menjelaskan praktik keberlanjutan yang telah diterapkan dan peningkatan kesejahteraan yang dirasakan oleh petani seperti dirinya.

Anam menjelaskan bahwa kebun kelapa sawit miliknya adalah warisan dari orang tuanya. Awalnya, ia tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman untuk mengelola kebun kelapa sawit, sehingga ia hanya mengerjakan bisnisnya tersebut ala kadarnya.

“Saya harus berjuang untuk memperoleh penghasilan yang memadai karena keterbatasan sumber daya dan minimnya akses ke pasar,” kata Anam, yang baru-baru ini berbicara di sebuah panel diskusi bertajuk “Inclusive Growth: Smallholders in Japan’s Palm Oil Value Chain” di JaSPON x RSPO Conference pada 11-12 Oktober 2023 lalu.

Sebagai informasi, petani swadaya seperti Anam memiliki peran penting di rantai pasok industri kelapa sawit di Indonesia. Namun, tidak seperti petani plasma, petani swadaya merupakan mata rantai paling rentan di industri ini. Hal ini dikarenakan mereka tidak didukung oleh skema korporasi. Mereka juga tidak memiliki akses ke industri finansial, dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di kebun. Akibatnya, mereka mendapatkan yield yang kecil, yang berarti penghasilan mereka lebih kecil dan tanpa praktik berkelanjutan, cara budidaya kelapa sawit mereka berpotensi merusak lingkungan.

Menurut data Badan Pusat Statistik di tahun 2021, petani swadaya menguasai lebih dari 40 persen dari total seluas 16,8 juta[1] hektar areal perkebunan sawit yang ada di Indonesia.

Keberhasilan Anam meningkatkan taraf hidupnya diharapkan dapat menginspirasi petani sawit lainnya, yang rentan terhadap berbagai tantangan, seperti kurangnya akses pasar dan daya tawar, minimnya akses finansial, hingga minimnya pengetahuan terkait praktik-praktik berkelanjutan untuk budidaya sawit.

SMILE sendiri merupakan program hasil kolaborasi Asian Agri, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Asia, Apical, perusahaan pengolah minyak nabati berskala global, dan KAO Corporation, perusahaan kimia dan kosmetik yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Program ini hadir untuk meningkatkan kesejahteraan petani swadaya dan mengatasi hambatan yang mempengaruhi produktivitas mereka melalui penguatan praktik berkelanjutan di kebun kelapa sawit.

Dengan kontribusi yang demikian besar di rantai pasok industri, praktik berkelanjutan sangat penting untuk diterapkan oleh para petani swadaya seperti Anam, diantaranya untuk memastikan tidak ada pembakaran dalam praktik perkebunan mereka.

“Setelah bergabung, produktivitas kebun kelapa sawit saya meningkat jauh, dan saya dapat menjual TBS (tandan buah segar) di harga yang lebih masuk akal,” kata Anam.

“Sebelum memperoleh sertifikasi, harga TBS yang saya peroleh biasa-biasa saja dan saya sering harus berjibaku untuk mendapatkan harga jual yang lebih masuk akal. Hal ini menyebabkan saya sulit menghidupi keluarga saya. Akan tetapi, setelah menerima sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), saya dapat menikmati berbagai keuntungan yang mengubah hidup saya.”

Anam mengatakan dirinya menerapkan praktik-praktik keberlanjutan dan berbagai teknik untuk efisiensi di kebun kelapa sawit untuk meningkatkan yield.

Tidak mudah untuk Anam untuk sampai di titik ini. Konsistensi adalah kuncinya. Setelah melalui rangkaian proses audit RSPO, pada 15 Juli 2022, Anam menerima Sertifikat RSPO. RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang mendukung pemrosesan kelapa sawit yang berkelanjutan.

“Setelah menerima sertifikasi melalui program SMILE, saya dapat menikmati berbagai keuntungan yang mengubah hidup saya. Saya menerapkan praktik-praktik keberlanjutan dan berbagai teknik untuk efisiensi di kebun kelapa sawit untuk meningkatkan yield,” kata Anam.

Sebelum tersertifikasi, diakui Anam, rata-rata produksi dari kebun kelapa sawit miliknya hanya sekitar satu metrik ton per hektar.

“Setelah memperoleh sertifikasi, yieldsnya meningkat hingga 150 persen, hingga mencapai angka yang cukup mengesankan, yakni di 2,5 metrik ton per hektar. Ini dengan catatan bahwa cuacanya baik dan semua prakondisi terpenuhi,” katanya.

Dengan bangga, Anam menceritakan, setelah memperoleh sertifikasi RSPO dan dengan harga premium yang didapatkan oleh dirinya dan petani lain yang tergabung dalam koperasi yang dipimpinnya, mereka mampu membesarkan koperasi mereka, dari yang tadinya beranggotakan 239 orang, kini telah bertambah 536 orang, sehingga saat ini total anggota KTTPS adalah 775 orang.

Anam dan rekan-rekannya di KTTPS merupakan contoh petani swadaya yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya setelah bermitra dengan Asian Agri, perusahaan yang sejak 1980, telah banyak membantu petani swadaya.

Kini, Asian Agri memiliki 30.000 petani plasma yang sejak 2017 telah 100 persen memiliki sertifikasi RSPO dan sejak 2014 memiliki International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

Sementara itu, sertifikasi RSPO pertama untuk petani swadaya yang bermitra dengan Asian Agri adalah pada 2013, yang diberikan kepada salah satu koperasi petani swadaya.

Hingga saat ini, Asian Agri telah membantu sertifikasi untuk hampir 3.000 petani swadaya dan target Perusahaan yang tertuang pada ‘Asian Agri 2030’, Pilar 1, adalah membantu 5.000 petani swadaya agar dapat tersertifikasi RSPO.

Komitmen ini merupakan strategi bisnis jangka panjang untuk mencapai industri kelapa sawit berkelanjutan yang telah diselaraskan dengan tujuan dari Sustainable Development Goals (UNSDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.

Artikel ini telah tayang di Katadata.

[1] Statistik Kelapa Sawit Indonesia (BPS) 2021