Skip to main content

Sama sekali tidak terpikirkan oleh Jumadi untuk beralih profesi menjadi petani kelapa sawit ketika ia pertama kali datang ke Pangkalan Kerinci di Riau, Sumatera untuk mengunjungi kawannya.

Namun, ketika ia menyaksikan sendiri keuntungan yang dirasakan kawannya dari kelapa sawit, Jumadi memutuskan untuk menjual rumahnya di Kediri, Jawa Timur dan pindah ke Riau.

“Di Jawa, saya adalah seorang petani padi tapi penghasilan saya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya,” ungkap Jumadi.

Jumadi memutuskan untuk menggunakan seluruh tabungannya sebagai modal untuk memulai lembaran hidup barunya. “Saya punya sedikit tabungan yang dikumpulkan selagi saya masih menjadi imigran di Malaysia, saya jual semuanya untuk beli dua hektar lahan kelapa sawit,” kata Jumadi.

Pada tahun 2002, Jumadi membawa serta istri dan kelima anaknya ke Pangkalan Kerinci. Setibanya di sana, ia langsung berkenalan dengan Asian Agri dan segera menjadi bergabung sebagai salah satu petani swadaya yang bermitra dengan perusahaan.

Jumadi menjelaskan, “Pada tahun 2003, saya bergabung dengan Kelompok Tani Bina Karya. Secara kolektif, kami menerima banyak sekali keuntungan dengan bermitra dengan Asian Agri, kami bahkan menerima pelatihan untuk dapat mengurus kebun dengan lebih baik.”

Ia bercerita ketika beberapa kebun petani Bina Karya diserang oleh ribuan ulat api, saat itu mereka segera berkonsultasi dengan Asian Agri yang kemudian melakukan fogging atau pengasapan sebagai solusi bagi masalah tersebut.

 

 

Perusahaan juga menjadi tempat para petani mitra mengadu ketika daun pohon kelapa sawit mereka tiba-tiba menguning.

“Kami meminta pertolongan kepada perusahaan dan perusahaan melakukan penelitian di laboratorium, kami petani kan tidak mengerti hal-hal seperti itu,” Jumadi menerangkan.

Jumadi menambahkan bahwa para petani mitra bahkan dapat mengajukan proposal untuk pinjaman dana bagi mereka yang membutuhkan tambahan modal untuk membuka bisnis lain disamping perkebunan kelapa sawit.

“Kapan pun petani mitra meminta bantuan Asian Agri, perusahaan selalu menanggapi sesegera mungkin dan mencari solusi terbaik bagi masalah kami,” ujar Jumadi.

Peningkatan signifikan dalam kehidupan petani mitra Asian Agri dirasakan langsung oleh Jumadi dan istrinya ketika mereka akhirnya dapat menyekolahkan tiga dari kelima anak mereka hingga ke perguruan tinggi.

Seiring waktu, pasangan suami-istri ini semakin berniat mengembangkan kemampuan mereka bercocok tanam. Meskipun kelapa sawit telah meningkatkan taraf hidup mereka, namun mereka enggan berpuas diri dan tak berhenti mempelajari hal baru. Jumadi dan istrinya ingin menemukan metode terbaik dalam menanam sayuran yang dapat mereka konsumsi sehari-hari.

Hingga akhirnya Jumadi pertama kali mendengar tentang media tanam hidroponik pada tahun 2014. Hidroponik adalah cara bercocok tanam dengan memanfaatkan air tanpa menggunakan tanah dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.

Menurut Dwi Puspito Rini, istri Jumadi, suaminya sangat penasaran ketika pertama kali mendengar mengenai hidroponik, ia sangat ingin belajar lebih banyak tentang cara bercocok tanam yang masih asing di telinga mereka kala itu.

“Semakin ia belajar dan tahu banyak, ia mulai ingin mencoba bercocok tanam dengan media hidroponik dan hingga sekarang tidak dapat berhenti,” ungkap Rini sambil tertawa.

Pasangan suami-istri ini bahkan sampai rela belajar hidroponik hingga ke Kabupaten Indragiri Hulu, sebelum mereka memutuskan untuk mencoba berkecimpung lebih serius dalam metode penanaman yang belum umum dilakukan banyak orang ini.

“Secara pribadi, saya lebih menyukai bercocok tanam dengan metode hidroponik karena perawatan tanamannya cukup sederhana dan kita tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk mengurus tanaman, tidak seperti metode penanaman tradisional di tanah,” kata Rini.

 

 

 

Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa metode hidroponik yang diterapkan dengan benar dapat membuat waktu panen lebih cepat dibandingkan dengan media tanah.“Ada beberapa jenis sayuran yang hanya butuh waktu tiga hari untuk langsung bisa dipanen.”

Pasangan suami-istri ini bahkan membangun greenhouse di sebelah rumah mereka karena bercocok tanam secara hidroponik sudah menjadi kegiatan rutin keluarga mereka. Jumadi dan Rini turut melibatkan dua anak mereka untuk membantu bercocok tanam.

“Jadi suami saya yang merakit medium hidroponiknya yang terbuat dari pipa yang dilubangi, lalu saya dan anak-anak yang bertanggung jawab dalam seluruh proses penanaman hingga panen,” Rini menjelaskan.

Medium hidroponik yang dibuat dari pipa oleh Jumadi sendiri bahkan dijual mulai dari harga Rp. 2 juta.

Meski demikian, pasangan ini menemukan kendala dalam memasarkan sayuran hidroponik mereka. “Awalnya sangat sulit memasarkan sayur yang kami tanam dengan metode hidroponik karena awamnya orang melihat tanaman ini sebagai tanaman hias. Dulu tetangga saya sering melarang saya untuk memanen sayuran hidroponik kami karena bagus untuk pajangan,” kenangnya sambil tersenyum.

Pasangan kreatif ini pun tak kehabisan akal, mereka menyusun rencana pemasaran yang lebih matang dengan melibatkan Dinas Ketahanan Pangan di Kabupaten Siak.

Rini menjelaskan bahwa saat melakukan pameran di kecamatan Minas banyak sekali yang tertarik. Salah satu pelanggan bahkan membeli lima paket medium hidroponik dan hingga sekarang masih menjadi pelanggan setia.

Ketertarikan dan semangat Jumadi dan Rini dalam mempelajari dan mencoba metode hidroponik telah berbuah menjadi salah satu pemasukan alternatif bagi pasangan ini, di samping pemasukan utama mereka sebagai petani kelapa sawit.

“Kami ingin tetap mencoba hal-hal baru yang berkaitan dengan bidang kami di pertanian. Namun kami tidak akan lupa yang awalnya meningkatkan kualitas hidup kami adalah kelapa sawit dan bantuan-bantuan dari Asian Agri. Itulah yang membuat kami dapat merambah hal-hal baru seperti sekarang,” pungkas Rini.

 

Leave a Reply