Skip to main content

Tahukah kamu, sekitar setengah dari produk yang dijual di supermarket biasanya mengandung minyak sawit. Minyak sawit dianggap sebagai bahan serbaguna yang bisa ditemukan dalam makanan ringan, kosmetik, pembersih rumah tangga, bahkan hingga produk perawatan tubuh.

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Minyak kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak nabati tertinggi, dan menghasilkan lebih banyak minyak per hektarnya jika dibandingkan dengan bunga matahari, kedelai, dan kacang tanah.

Namun, penggunaan minyak telah mendapatkan kritik selama beberapa dekade terakhir, yang mengatakan bahwa proses pertanian kelapa sawit menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran dan gundulnya hutan, hilangnya habitat dan spesies yang terancam punah, masalah kabut, perubahan iklim, perambahan dan pengambilalihan lahan milik masyarakat adat.

Para kritikus tersebut telah mendorong konsumen dan organisasi dunia untuk memboikot produk yang mengandung minyak sawit. Bahkan, di awal tahun ini, Parlemen Eropa mengeluarkan larangan untuk menggunakan minyak sawit di semua biofuel Eropa pada tahun 2020.

Namun, pelarangan tersebut sebenarnya hanya akan menimbulkan masalah besar lainnya. Larangan tersebut tidak hanya akan membuat jutaan petani kelapa sawit kehilangan mata pencaharian mereka, (yang di mana 85 persen dari total produksi minyak sawit global berasal dari petani sawit Indonesia dan Malaysia), laporan terbaru dari IUCN menyatakan bahwa mengganti minyak sawit dengan jenis minyak nabati lainnya akan membutuhkan lahan yang jauh lebih banyak dan tentunya akan menimbulkan masalah baru.

 
 

Untuk menghasilkan volume minyak yang sama, tanaman penghasil minyak nabati lainnya paling tidak membutuhkan 10 kali luas lahan perkebunan kelapa sawit. Tanah ekstra yang diperlukan untuk mengganti kelapa sawit harus berasal dari tempat baru. Hal ini tentunya akan menimbulkan ancaman deforestasi untuk lahan-lahan yang akan digunakan.

Tak hanya itu, minyak nabati lainnya juga memiliki sifat kimia yang berbeda dengan minyak sawit. Artinya mereka harus melalui proses hidrogenasi untuk dapat digunakan dalam berbagai macam produk. Bahkan ada riset yang menyatakan bahwa minyak terhidrogenasi atau terhidrogenasi sebagian akan menimbulkan efek negatif pada kesehatan manusia.

Lalu bagaimana kita bisa mencari solusi terbaik, agar tetap bisa menggunakan minyak sawit, tanpa ada rasa bersalah? Jawabannya adalah dengan minyak sawit berkelanjutan.

Definisi minyak sawit berkelanjutan yang paling mudah diterima berasal dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO adalah badan sertifikasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari semua sektor industri kelapa sawit (termasuk produsen, pengolah dan pedagang minyak sawit, pengecer dan organisasi lingkungan) untuk mengembangkan, memproduksi, dan menggunakan minyak sawit, dengan meminimalisir terjadinya dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat

Produsen kelapa sawit yang telah tersertifikasi RSPO harus mematuhi delapan prinsip, di antaranya; komitmen terhadap transparansi; kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku; berkomitmen untuk kelangsungan ekonomi dan keuangan jangka panjang; penggunaan praktik terbaik yang sesuai oleh petani dan pabrik; tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; pertimbangan yang bertanggung jawab atas karyawan, dan individu serta masyarakat yang dipengaruhi oleh petani dan pabrik; bertanggung jawab atas pengembangan dan penanaman baru; dan komitmen untuk terus meningkatkan segala kegiatan di area tersebut.

 

Apakah Sertifikasi Saja Cukup?

Sejak menjadi anggota RSPO di tahun 2006, sebanyak 86% kebun Asian Agri telah menerima sertifkasi dari RSPO. Akan tetapi pencapaian ini bukan berarti bebas dari kritik. Banyak yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip RSPO seperti “tanggung jawab atas praktik penanaman baru”, tidak sepenuhnya berhasil melarang produsen kelapa sawit, menebang lebih banyak pohon untuk menciptakan lebih banyak lahan untuk produksi minyak kelapa sawit.

Untuk itu, Asian Agri melengkapi sertifikasi RSPO dengan kebijakan nol-deforestasi di perkebunannya sendiri, dengan mematuhi standar berkelanjutan lainnya, seperti Internasional Sustainability and Carbon Certification (ISCC) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia.

Hingga kini, perkebunan kelapa sawit Asian Agri sendiri telah 100% tersertifikasi ISCC dan 91% tersertifikasi ISPO.

Narno menerima penghargaan dari RSPO

Fadhil Hasan, Direktur Corporate Affair Asian Agri, menjelaskan bahwa pasar kelapa sawit yang berbeda mengharuskan perusahaan untuk memiliki sertifikasi yang berbeda.

“Industri makanan di Eropa membutuhkan standar RSPO, sementara biodiesel Eropa perlu mendapat sertifikasi ISCC. Di sisi lain, sertifikasi ISPO diharuskan oleh pemerintah Indonesia.

“Di Asian Agri, kami memiliki ketiga sertifikat tersebut yang mendukung kredibilitas perusahaan dalam hal standar berkelanjutan,” katanya.

Para kritikus industri kerap kali menyalahkan industri minyak sawit, antara lain, atas kebakaran hutan yang terjadi di negara ini dalam beberapa tahun terakhir, khususnya ketika bencana kabut asap yang memberikan dampak buruk di beberapa wilayah pada tahun 2015. Asian Agri telah melarang pembukaan lahan dengan cara membakar sejak tahun 1994. Ketika itu, Asian Agri merupakan salah satu perusahaan pertama di Indonesia yang menerapkan kebijakan tersebut – serta melarang untuk membuka lahan perkebunan di lahan gambut, karena lahan gambut dianggap sangat mudah terbakar. Terlebih lagi ketika musim kemarau tiba, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan di lahan gambut akan semakin besar.

Minyak kelapa sawit juga telah dijadikan kambing hitam atas punahnya habitat spesies fauna Indonesia. Akan tetapi isu tersebut dapat dicegah dengan memilih area yang tepat untuk bertani kelapa sawit. “Asian Agri tidak membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, dan wilayah operasi kami didirikan di daerah-daerah yang sudah terdegradasi dengan nilai keanekaragaman hayati yang relatif rendah,” kata Fadhil.

Di dalam area perkebunannya, Asian Agri menjaga lokasi yang dianggap memiliki Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (HCV) untuk tidak ditanami, seperti area dengan unsur biologis, ekologi, sosial atau budaya yang kuat dan penting di tingkat regional, nasional atau global.

 

Menyebarkan Prinsip Berkelanjutan

Mematuhi standar sertifikasi yang telah ditetapkan oleh pihak ketiga adalah komitmen utama dan hal yang mungkin dilakukan oleh perusahaan besar kelapa sawit seperti Asian Agri. Akan tetapi, bagi 1,7 juta petani di Indonesia, yang mencakup sekitar 34 persen produksi minyak sawit di negara ini, hal tersebut terlihat mustahil. Banyak dari mereka bahkan tidak memiliki dokumen hukum yang diperlukan untuk memenuhi standarisasi tersebut. Terlebih lagi mereka sangat minim dalam hal keahlian sumber daya manusia dan juga finansial.

Para petani yang bermitra dengan perusahaan besar akan menerima banyak manfaat. Perusahaan akan membantu para petani untuk mendapatkan sertifikasi berkelanjutan, dengan mengurangi dampak buruk yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini tentunya akan membantu meningkatkan hasil panen dan pendapatan para petani, terlebih lagi dengan menggunakan metode dan teknologi yang modern. Cara ini memungkinkan perusahaan seperti Asian Agri mendapatkan pasokan kelapa sawit yang lebih banyak, tanpa harus membuka lahan baru.

Untuk itu, Asian Agri meluncurkan program One to One Commitment, dimana di dalam program ini perusahaan memiliki target bermitra dengan petani dengan luasan 100.000 hektar lahan pada tahun 2018.

Di tahun 2013, Asian Agri membantu salah satu kelompok petani swadaya pertama di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Kemudian di tahun 2017, Asian Agri juga turut membantu asosiasi petani untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Kini mereka mulai menerapkan dan menyebarkan ilmu yang mereka peroleh, kepada kelompok petani lain yang jumlahnya jauh lebih besar.

Salah satu bagian dari proses sertifikasi tersebut adalah, petani diminta untuk mencatat informasi tentang Tandan Buah Segar (TBS) yang mereka hasilkan. Tujuannya agar membuat panen mereka lebih mudah dilacak.

Loading tandan buah segar ke truk

“Ketika kami memiliki kemamputelusuran rantai pasok (traceability), tandanya kita mengetahui rantai pasok kami sendiri. Karena kami masih memerlukan pasokan TBS dari luar (petani yang bermitra dengan kami) – penting bagi kami untuk mengetahui siapa petani yang memasok dan bagaimana mereka mengelola perkebunannya.

“Dengan cara ini, kami dapat menjamin bahwa minyak sawit kami dihasilkan dari perkebunan yang bertanggung jawab dan telah menerapkan prinsip berkelanjutan,” kata Fadhil.

Selain itu, prinsip berkelanjutan juga bisa diterapkandengan cara yang bervariasi. Contohnya, Asian Agri telah membangun tujuh pembangkit listrik tenaga biogas. Bahkan rencananya di tahun 2020, akan terus bertambah hingga 13 pembangkit listrik tenaga biogas. Pembangkit listrik tersebut mampu mengubah sampah organik yang berasal dari proses produksi minyak kelapa sawit, menjadi energi listrik terbarukan. Listrik tersebut digunakan untuk kebutuhan pabrik milik Asian Agri sekaligus turut membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu pembangkit listrik tersebut juga menyalurkan energi listrik bagi masyarakat di sekitarnya.

Saat ini, yang menjadi pertanyaan utamanya bukan, “Apakah praktik pengelolaan minyak sawit secara berkelanjutan itu mungkin dilakukan?”, tetapi “Bagaimana cara terbaik untuk menyebarkan praktik berkelanjutan?”, kata Fadhil.

“Ketika berbicara tentang kelapa sawit, kami di Asian Agri berkomitmen untuk bisa berperan aktif mempromosikan penggunaan minyak sawit yang berkelanjutan secara global dalam kehidupan kita sehari-hari,” tutup Fadhil.

Leave a Reply