Skip to main content

Minyak kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang paling dicari karena dapat menghasilkan berbagai macam produk. Namun, tanaman kelapa sawit juga tidak bebas dari ancaman hama yang merugikan. Lalu, bagaimana melindungi industri dan kebun kelapa sawit sumber pendapatan masyarakat lokal sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan?

Hama yang paling umum ditemui di perkebunan kelapa sawit adalah ulat dan tikus. Serangan ulat api biasanya terjadi pada tahap pembibitan. Serangan ini bisa mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi kelapa sawit di masa depan dengan umur produktif kelapa sawit selama 30 tahun, masalah ini dapat memiliki dampak ekonomi yang besar. Sedangkan hama tikus mengincar buah kelapa sawit.

Dengan total area 160 ribu hektar perkebunan kelapa sawit, bisa dibayangkan dampak terhadap lingkungan jika hanya bergantung pada penggunaan pestisida.

Asian Agri menemukan cara alami untuk mengatasi masalah hama. Untuk menghadapi ulat api, Asian Agri mengandalkan serangga bernama Sycanus, yang merupakan predator alami ulat api. Perusahaan bahkan memiliki penangkaran Sycanus. Setiap satu bulan, Asian Agri melepas sebanyak 2.000 serangga Sycanus.

Bahkan, perusahaan juga menanam Turnera subulata yang menjadi rumah bagi Sycanus di area perkebunan. Asian Agri menanam 18 meter persegi Turnera subulata per 1,4 hektar lahan perkebunan. Total tanaman Turnera subulata mencapai 1.285 meter persegi di lahan milik perusahaan, petani plasma dan petani swadaya di Sumatra Utara, Riau dan Jambi.

Asian Agri juga melakukan pembibitan Turnera subulata yang disebut juga sebagai house plant. Setidaknya, 1.000 house plant ditanam di masing-masing areal perkebunan setiap bulannya.

Untuk hama tikus, Asian Agri mengandalkan penggunaan burung hantu (Tyto alba) yang merupakan predator alami hama tikus. Untuk setiap 25 hektar lahan perkebunan, Asian Agri menempatkan satu kandang burung hantu.

Asian Agri melakukan pengecekan dan sensus terhadap jumlah burung hantu di perkebunan.

“Kami mengecek kesehatan mereka secara teratur, dan terkadang kami menemukan anak burung hantu di kandang. Setelah mereka berusia 6 bulan, mereka akan pergi dari kandang dan mencari sarang sendiri. Kami membiarkan mereka lepas ke alam dan tidak memelihara mereka,” kata Zulkarnaen seorang penjaga burung hantu.

Praktik manajemen hama terpadu ini membawa keberhasilan, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga bagi lingkungan. Di kebun Buatan, Riau, cara ini berhasil membuat seluruh wilayah kebun bebas dari penggunaan pestisida.

“Dengan metode ini kami mampu mengontrol hama tanpa membahayakan mahkluk hidup lainnya di sekitar kebun,” kata Jenni G, Asisten Kepala Kebun Buatan.

Praktik tersebut konsisten dengan filosofi bisnis Asian Agri dan Royal Golden Eagle (RGE) yang merupakan induk usahanya yaitu menjalankan bisnis yang baik bagi masyarakat (community), baik bagi negara (country), baik bagi iklim (climate), baik bagi pelanggan (customer) sehingga akan baik bagi perusahaan (company).

Leave a Reply