Skip to main content

Saat Asian Agri pertama kali menerapkan kebijakan tanpa bakar di tahun 1994, tidak banyak yang menyadari bahwa kebijakan ini akan turut berkuntribusi untuk mempelopori program Persatuan Bangsa-Bangsa, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs), yang dibentuk 2 dekade kemudian.

Dengan kebijakan tanpa pembakaran yang ketat, Asian Agri, turut berkontribusi pada SDG poin ke 13 dan 15 mengenai Penanganan Perubahan Iklim dan Ekosistem Daratan, serta SDG 12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab.

Pada tahun 2016, Asian Agri juga meluncurkan Program Desa Bebas Api (FFVP), dengan tujuan merangkul desa-desa di sekitar area operasi perusahaan, untuk meningkatkan kesadaran mereka akan bahaya pembakaran lahan. Pada tahun yang sama, Asian Agri juga menjadi anggota pendiri Fire Free Alliance (FFA), sebuah kelompok pemangku kepentingan bersama, yang tujuan utamanya mengurangi masalah kebakaran dan kabut asap di Indonesia

Nol Deforestasi

Mencegah terjadinya kebakaran dan kabut asap hanyalah satu dari sekian banyak langkah yang telah dilakukan Asian Agri, sebagai bentuk kontribusinya kepada SDGs. Selain yang sudah disebutkan di atas, Asian Agri juga menerapkan praktik nol-deforestasi dan tidak melakukan pembangunan baru di lahan gambut. Langkah ini diambil sebagai bentuk dukungan terhadap poin SDG ke 15, yang dirancang untuk melindungi kehidupan di darat.

Bernard Riedo, selaku Head of Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri, mengatakan bahwa Asian Agri akan terus berinisiatif untuk mengambil langkah yang sejalan dengan 17 poin SDGs, meskipun “poin utama tidak hanya untuk kita identifikasi. Kita perlu memastikan bahwa dampak yang dihasilkan dari tindakan tersebut dapat diukur, dimulai dari daerah yang sawit atau masyarakat sekitar, yang pada kemudian meningkat menjadi skala kabupaten, provinsi, nasional dan akhirnya ke skala global, “katanya.

Apakah 17 Sustainable Development Goals?

Sustainable Development Goals

Komitmen Satu Banding Satu

Asian Agri juga turut berkontribusi pada SDGs poin ke 1, 2, dan 8 tentang Pengentasan Kemiskinan, Kelaparan, dan Menyediakan Lapangan Pekerjaan yang Layak untuk Pertumbuhan Ekonomi. Usaha tersebut dijalankan melalui penerapan skema plasma bagi para petani sawit di Indonesia, yang juga bagian dari program pemerintah, yang telah dimulai sejak 30 tahun yang lalu.

Sejak saat itu, kemitraan Asian Agri dengan petani sawit di Indonesia – baik plasma maupun independen – berkembang secara pesat. Kesuksesan ini merupakan bentuk dukungan Asian Agri terhadap poin ke 17 SDG yang mempromosikan Kemitraan dan Kerjasama di seluruh dunia. Para petani sawit tersebut menyumbang sekitar 25 persen dari rantai pasokan Asian Agri saat ini.

Melalui Komitmen Satu Banding Satu, Asian Agri berusaha untuk menyesuaikan setiap hektar lahannya sendiri, dengan satu hektar lahan yang dimiliki oleh petani sawit pada akhir tahun 2018.

Untuk itu, Asian Agri bermitra dengan petani plasma Plasma yang memiliki lahan lebih dari 60.000 hektar, dan petani independen yang memiliki lahan seluas 40.000 hektar, agar bisa mencapai total 100.000 hektar lahan petani. Dengan begitu, total luas lahan milik para petani akan sama dengan lahan milik Asian Agri yang seluas 100.000 hektar.

Dengan bermitra dengan petani sawit, Asian Agri juga membantu puluhan ribu keluarga untuk meningkatkan pendapatan dan standar kehidupan mereka secara keseluruhan, karena Asian Agri memberi para petani pelatihan dan materi (seperti benih kelapa sawit unggul milik Asian Agri, yaitu benih topaz) agar bisa meningkatkan produktivitas hasil pertanian mereka secara berkelanjutan.

 

Praktik Berkelanjutan

Asian Agri juga mendukung poin SDG ke 12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab dengan menerapkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam semua operasinya.

RSPO dan ISPO menetapkan standar internasional untuk produksi dan pengelolaan minyak kelapa sawit secara berkelanjutan, sementara ISCC merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan sustainability, traceability dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis energi yang terbarukan.

Di akhir tahun 2016, 86 persen pabrik dan perkebunan Asian Agri mampu meraih sertifikasi RSPO, sedangkan untuk sertifikasi ISCC mencapai 100 persen, dan sertifikasi ISPO 91 persen.

Asian Agri juga memiliki fokus pada pengelolaan limbah yang bertanggung jawab. Sisa limbah padat seperti serat dan kernel kelapa sawit, digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk menjalankan turbin di pabrik, dengan kata lain Asian Agri telah menyediakan sumber energi terbarukan. Selain itu, sekitar 50 persen kernel tersebut juga tidak dibuang, namun dijual ke pihak ketiga.

Material organik lainnya seperti tandan kosong dan Palm Oil Mill Effluent (POME) dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanah. Material tersebut bisa meningkatkan unsur hara, mencegah erosi tanah, dan membantu mengelola tingkat kelembaban.

Selain itu, POME tersebut juga bisa diolah di dalam pabrik biogas (PLTBGs) Asian Agri, yang kemudian dicampur menggunakan bakteri. Gunanya adalah untuk mengurai sampah organik menjadi metana, yang kemudian akan menghasilkan energi terbarukan. Hingga saat ini, Asian Agri saat ini telah memiliki tujuh, PLTBGs. Targetnya, di tahun 2020 Asian Agri akan membangun sebanyak 20 PLTBGs.

Pabrik biogas ini juga merupakan salah satu bentuk dukungan Asian Agri terhadap poin SDGs yang ke 7 mengenai Energi yang Terjangkau dan Bersih. Setiap pabrik biogas mampu menghasilkan 2.2MW listrik. Energi yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan listrik pabrik Asian Agri sebesar 700 kilowatt, sedangkan sisanya sebesar 1.5 MW akan diberikan ke masyarakat di sekitar pabrik Asian Agri.

Pabrik biogas ini juga telah mendapatkan pujian dari pemerintah Indonesia, karena dianggap telah membantu memenuhi target energi baru yang cukup signifikan, yang 25 persen di antaranya berasal dari sumber energi yang terbarukan.

Leave a Reply